"Kebenaran adalah berani, dan kebaikan tidak pernah takut." -William Shakespeare_Measure for measure-

Minggu, 27 Februari 2011

"PENJINAK BOM"

“ah, kamu pintar menciptakan genderang perang.” 
“tidak, kamu pintar menabuh genderang perang.” 
“salah, kamu sanggup membalas tabuhan genderang perang.” 
“ah yang benar saja. Kamu bisa membalikkan genderang perang dan membuatnya lebih ‘meriah’.” 

Pilih saja salah satu sesukamu. Aku pintar dan sanggup melakukannya ketika emosiku sedang meluap-luap, ketika aku lupa pada keberadaan Tuhan. Aku bahkan sanggup menciptakan 2 atau 3 genderang perang sekaligus beserta tabuhannya. Aku juga mampu menciptakan “bunyi-bunyian” indah untuk mempertajam suasana. Hmmm.. memeriahkan suasana. 

Tapi aku bersyukur tidak pernah melupakan Tuhan sepenuhnya. Keahlian busuk ini begitu membanggakan ketika aku sedang marah. Tapi semuanya tidak lagi membanggakan dan menyenangkan ketika aku sadar. Ah, bukankah manusia sering seperti itu? 

Aku akan sombong seperti lucifer menyombongkan ketampanannya. Kemudian aku akan dilempar seperti Tuhan melempar lucifer keluar dari garis nyaman. Baiklah, tunggu sebentar. Aku tidak ingin yang satu ini. 

Sepertinya Tuhan mendengarkanku. Aku dikirimi pendamping gagah yang dengan ajaib mampu menurunkan
emosiku dan menghentikanku mempertunjukkan kesombongan dan keahlianku membalas orang lain secara LEBIH menyakitkan. Bukan berarti seketika aku menjadi santa suci. Tentu saja masih tersisa “keahlian” mengerikan ini. Bahkan tidak jarang aku melakukan tawar-menawar untuk melakukan aksiku. Tapi Tuhan membantu dirinya mengikis “keahlian brutal” ini sehingga yang terjadi hanya percikan api kecil, alih-alih ledakan bom besar. 

Setiap kali aku kesal, kau tahu apa yang dia lakukan? 

“salurkan secara elegan.” Dia mengatakannya.

Oh yang benar saja. Semua manusia diseluruh bumi ini memiliki arti masing-masing tentang bersikap elegan. Tapi kami berdua mencapai kesepakatan tentang arti sikap elegan. Well, minimal untuk kami berdua. Kau tahu, agak susah menyatukan dua pikiran yang berbeda. 

Mereka melihat ketidakseimbangan diantara kami berdua. Mereka bilang aku terlalu mendominasi. Aku si perempuan meledak-meledak. Mereka menyebutnya “si suami takut istri”. Hei, yang benar saja. Dia yang mampu menciptakan ketenangan untukku saat aku begitu meledak-ledak, seperti yang diistilahkan orang diluar sana. Berhentilah membual jika tidak mengerti  alur kerjanya. Dia tidak penakut. Dia tidak takut padaku. Dia hanya membantuku melenyapkan api. Dia hanya lebih bijak dariku, dan, menyayangiku. 

“biarkan orang lain mengatakan apa saja. Toh kita berdua tahu mekanisme hubungan diantara kita.” Dia menanggapinya dengan santai.

 .....................................

Oh Tuhan, ingatkan aku untuk selalu mengucapkan terimakasih padaMu karena memberikan pendamping sekaligus sahabat yang mampu mencegah keahlianku dalam meledakkan “bom”. Mereka yang sedang berurusan denganku, ah, sebaiknya berterimakasih juga karena aku didampingi “penjinak bom”. kalau tidak, kasihan sekali jika aku sampai lupa diri dan meledakkan bomnya. 

Tuhan, apakah aku sudah mengatakan padaMu kalau aku mencintaiMu karena meletakkan dirinya disampingku? Well, meskipun mereka sering berceloteh, “belum tentu ini berlangsung selamanya”, tapi, aku boleh berharap kan.. 
dan tentu saja aku boleh menikmati keberuntunganku, saat ini. 

Iya kan? 

:)
 
  
images from: www.google.com
 

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...