"Kebenaran adalah berani, dan kebaikan tidak pernah takut." -William Shakespeare_Measure for measure-

Minggu, 27 November 2011

Keinginan dan Ego.

Kebutuhan versus keinginan.
Tanggung jawab versus ego.
Kedewasaan versus kekanakan. 


Jika ego yang menang, maka inginnya menyingkirkan tanggung jawab. Jika keinginan yang menang, maka harapannya bisa menjadi kebutuhan. Jika kekanakan yang menang, maka inginnya tidak ada kedewasaan. 
Betul, ini tentang keinginan dan ego. Bisa jadi keduanya adalah kembar identik. Serupa tapi tak sama. Bukan masalah genting jika tidak ada embel-embel seperti tanggung jawab, kebutuhan, kedewasaan, dan kroni-kroninya. Bukan masalah yang luar biasa jika hidup hanya sendiri, tanpa orang lain, tanpa lingkungan. Masalahnya, untuk hidup damai, kadang-kadang keinginan dan ego harus disingkirkan. Masalahnya (lagi), hidup ini tidak sendiri. Selalu ada orang lain biar dikata rasanya seperti sendiri.
Lalu, kata orang bijak: "itu pilihan."
Kata saya: "seperti dihimpit semak belukar. Sekian."


images from here



Sabtu, 26 November 2011

CHOICE.

"Even God has ability to unite us, when human has chosen not to, then they won't."
(-Beloved Jimmy Tumbelaka-)

images from here

Senin, 21 November 2011

Gadis Berkepang Dua. dan Hujan

Jangan hujan!
Gadis berkepang dua ingin menari. Menari diatas jalan beraspal yang hangat. Abu-abu dengan garis putih.
Menari lincah diatasnya. Kaki kiri menapak, kaki kanan melayang. Kaki kanan menapak, kaki kiri melayang. Lalu, kaki kanan dan kaki kiri menapak jalan beraspal bersama-sama. Tujuh, Delapan, Sembilan. Begitu hitungannya. Deru motor dan klakson mobil. Musik indah itu. Tambahkan bel sepeda dan knalpot sombong. Teriakan histeris para pengemudi. Tepat! Itu liriknya!

Jangan hujan!
Gadis berkepang dua tidak suka menari bersama hujan. Gadis berkepang dua tidak suka hujan.
Sendu. Basah. Lepek. Dingin. Malas. Beku.
Menyebalkan.

Jangan hujan!
Gadis berkepang dua ingin menari. Menari dengan panas. Silau dan menyengat. Menari lincah bersamanya. Kaki kiri menapak, kaki kanan melayang. Kaki kanan menapak, kaki kiri melayang. Lalu, kaki kanan dan kaki kiri menapak jalan beraspal bersama-sama. Tujuh, Delapan, Sembilan. Begitu hitungannya. Bunga matahari. Kelopak demi kelopak dipetik sempurna dan disematkan di kepang-kepangnya. Tepat! Itu mahkotanya!

Jangan hujan!
Gadis berkepang dua akan sedih. Label: Gila dan bodoh. Mereka menyebutnya begitu.
Oh tidak. kamu pun menyebutnya begitu. Gadis berkepang dua, gila dan bodoh.
Sudahlah. Beri label sesukamu. Asal jangan hujan. Gadis berkepang dua akan berhenti menari jika hujan.
Cerianya akan hilang bersama matahari. Lalu, tidak ada lagi tawa tegar ditengah padang belukar.





Jumat, 18 November 2011

Serba-serbi Luka

Mereka ada di dekatmu. Seringnya menyakiti hatimu yang hanya satu. Jangan pusing dengan urusan "disengaja" atau "tidak disengaja" karena pada akhirnya hati tetap luka. Di suatu waktu manusia-manusia ini menangis tersedu-sedu, merasa hatinya disakiti, olehmu. Lalu mulut-mulut kecil berkoar bahwa kamu tidak pernah mengerti. "Kamu tidak pernah berada diposisiku!" Teriak mereka dengan lantang. Jari kirinya menuding moralmu. Tangan kanannya menarik jubah hakim. Kamu dihakimi. Kamulah orang paling kriminal dimuka bumi. Satu-satunya makhluk yang tidak punya hati karena tidak pernah bisa mengerti tentang "posisi". Kamu harus mengerti. Kamu harus paham. Peduli setan, hatimu sakit dan tertusuk karena tudingan. Kamu orang bersalah. Titik. 

Anggap saja benar. Mengaku saja pernah melakukannya. Lalu minta pengampunan pada siapa? Siapa yang mengerti hati yang satu ini? Mulut ditempel plester tanda dilarang bersuara. Sekali salah tetap salah. Sekali tidak mengerti tetap tidak mengerti. Jangan membela diri. Ingat? Moralmu sedang dituding. "Berontaklah! Buka plesternya dan bersuaralah." kata suara didalam hati. "Jangan. simpan saja tenagamu." Kata suara yang lain. Ah, ya. Sia-sia. Inilah saatnya pepatah "diam adalah emas" beraksi. 

Betul. Sebaiknya kamu diam. Tahan semua dengan lutut yang bergetar itu. Bersyukurlah. Lututmu masih bergetar, belum patah. Lalu, jika patah? Masih ada pundak. Masih ada punggung. Tanggung saja sebentar. Nanti katanya akan ada yang menolongmu. Seperti di sinetron-sinetron itu, tokoh protagonisnya selalu tersungkur. Tapi selalu ada yang mengulurkan tangan untuknya. Begitupun kamu. Pasti akan ada yang mengulurkan tangan untukmu. Kamu yang hatinya cuma satu dan disakiti. Kamu yang harus mengerti. Kamu yang terhakimi. Kamu yang tertuding. Kamu yang moralnya dipertanyakan. Kamu yang mulutnya di plester tanda dilarang bersuara. Kamu yang lututnya bergetar. Bahkan kamu yang sudah tersungkur. Harapanmu adalah bahwa akan selalu ada yang mengulurkan tangannya untukmu. Meski hanya satu orang. Atau setengah orang? 
Berharap sajalah. Toh, kamu belum mati.

image from here

Rabu, 16 November 2011

"Seperti di Persimpangan"

Seperti di persimpangan. Pilihan jalannya begitu banyak. Dua pilihan saja sulit, apalagi lebih. Tuhan hanya memberi satu otak, satu jantung, satu hati, dan banyak pilihan. Ah. Jadi semacam dagelan saja. 
Tapi kata mereka yang mengaku berpengalaman, manusia diberi akal. Banyak akal. Jadi itu bukan situasi yang mustahil untuk dihadapi. Tambahkan nurani. Kata mereka yang mengaku dekat dengan Tuhan, nurani adalah yang paling jujur. Seperti alarm kebakaran. Jika pilihan yang berbahaya datang pada manusia, maka nurani akan membunyikan suaranya yang paling kencang. Yah, kecuali dinding hati dan otak sudah tebal, maka nurani tidak akan terdengar, atau terbaca, atau terlihat. 
Tetap saja seperti di persimpangan. Pilihan jalannya begitu banyak. Meskipun hanya satu tujuan, Meskipun nurani sudah bertugas sesuai kewajibannya, meskipun akal begitu banyak, tetap harus memilih satu jalan. 
Ingat sang waktu. Dia kejam. Tidak mau berhenti, katanya. Atau tidak bisa berhenti. Jelas, manusia yang hanya dianugrahi dua kaki merapat, bahkan kurang, tidak bisa memilih dua jalan dalam waktu bersamaan. 
Ah, itu dia si "rela berkorban" muncul. Munculnya tidak tergesa-gesa. Perlahan namun pasti. Relakan yang satu, pilih yang lain. Syukur, jika waktu masih banyak. Dua kaki rapat boleh kembali di perhentian sebelumnya lalu mencoba jalan yang lain. Sayang sekali, Sang waktu jarang memberi lebih. Biasanya selalu tepat. Bahkan terasa terbirit-birit. 
Seperti di persimpangan. Pilihan jalannya begitu banyak. 
Kata Mr. Simple, "It's a life. Isn't it?
Kata Mrs. Tegas, "Itu Hidup. Titik."

images from here

Selasa, 15 November 2011

Keberuntunganku



"Kamulah keberuntunganku, sekarang. Jangan tanya tentang dulu atau nanti. Titik."

images from here

Selasa, 08 November 2011

Surat dari Langit #2

Hari ini aku begitu muram. Dan Kelam. Lagi. 
Maaf, karena tidak mengizinkan matahari bersahabat denganmu, manusia.
Sebenarnya aku ingin bekerja sama. Menghentikan tangisku dan menyibak awan sehingga matahari boleh terlihat, tapi aku tidak mampu membendungnya. Kemuraman ini terlalu dalam sehingga awan menjadi gelap dan menumpahkan asam-asam dalam bentuk tetes-tetes air yang besar.
Muram. Semoga kamu tidak semuram aku hari ini. Aku belum bertemu pelangi. Siang tadi, aku menjumpai matahari dan awan. Mengadakan rapat bersama mereka, dengan muram. Lalu matahari pun malas. Katanya aku terlalu muram untuk bekerja sama dengannya. Lagipula pelangi belum terlihat hari ini. Jadi lanjutkan saja kemuramanku, katanya. Awan pun bilang jangan terpaksa tersenyum. Nanti kumpulan kami tidak akan terlihat indah jika semua dipaksakan. Terimakasih untuk awan dan matahari.


Ini hanya bagian kesedihan. Hei, manusia, kesedihan bukan hanya milikmu saja, kau tahu.
Aku hanya harus melewatinya dan mengizinkannya terjadi agar aku boleh menemukan pintu baru untuk masa depanku. Semoga kamu juga begitu, manusia.


Oh jangan berharap bintang malam ini. Lagi-lagi aku harus menyampaikan berita sedih ini. Bintang sudah sepakat dengan matahari. Bintang tidak muncul malam ini. Sekali lagi, terimakasih untuk mereka. Semoga kamu pun mengerti, manusia.

Dengan penuh muram, dan abu-abu. 
Langit

images from here

Read: Surat dari Langit #1

Minggu, 06 November 2011

KEBAS.

Lidah dan hati mati rasa. Dulu, mudah bercakap-cakap denganmu. Berdiskusi hal-hal remeh di dalam hati, denganmu. Menikmati tanjakan demi tanjakan. Belum sampai puncak tapi hati sudah terlanjur menari dengan riangnya, karena kamu. Mudah untuk memanggil namamu dan mencarimu saat jantung terperosok, saat harga diri diinjak-injak. Lalu kamu perlahan menarik tangan yang tidak sanggup terulur padamu, dan dengan tegas menariknya sampai berdiri kembali.
Sayang, hati sempat terlena. Melirik yang lain hingga kamu sedikit tersingkir. Marah? Maaf. Mata dan hati terlanjur tertuju pada yang lain. Bukan sesuatu yang menyenangkan pada akhirnya karena membuat hilang arah dan tujuan.
Karena itu kebas. Hati dan lidah mati rasa. Rupanya urat malu belum putus sehingga terlalu malu untuk memanggilmu yang telah dengan sengaja ataupun tidak disengaja, ditinggalkan.
Hati kebas untuk memanggilmu kembali.
Lidah kebas untuk menyebut namamu kembali.
Tapi nurani bilang benar-benar butuh kamu.
Ini penyakit kronis.
Tolong!
images from here

Sabtu, 05 November 2011

Tidak Selalu Tanda Damai.

Siapa bilang senyum dan basa-basi adalah tanda damai? Boleh jadi, itu adalah tanda sopan santun di tempat umum. Atau, tanda sederhana untuk otak waras yang tidak ingin menimbulkan gaduh.

images random from google

Kamis, 03 November 2011

Kuliah dan (Akhirnya) Sarjana!

*Boleh ya posting kali ini enggak menggunakan bahasa menye-menye. Saya sedang ingin berbagi senang (dan narsis) dengan kamu, readers. #Bigsmile

Saya senang. Saya bahagia. Saya bersyukur. Saya sedikit puas. 
Saya sarjana muda! Bukan hal yang penting bagi kebanyakan orang. Tapi hal yang cukup penting bagi saya karena ini adalah tanda puas dua orang tua yang bercita-cita melihat anak-anaknya menjadi sarjana. Saya bandel, tapi cukup waras untuk mewujudkan cita- cita sederhana mereka. Hati siapa yang tidak hangat melihat orangtuanya tersenyum bahagia? :)

with beloved mother


Saya, Fera Maria B. Suliyanto S.I.Kom, sudah bisa disebut alumni FISIP Ilmu Komunikasi UAJY. Dan semoga di tahun-tahun mendatang tetap terlihat bersahaja seperti foto-foto cantik di posting-an kali ini. *senyum malu-malu*
Saya sedang gendut. Kegendutan yang TIDAK DISENGAJA. Halo, para calon sarjana muda yang sedang melatih otot matanya sampai pagi di depan layar laptop/komputer, hati-hati dengan tangan dan cemilan anda. Akibatnya bisa seperti lidi, atau malah seperti guling yang baru dipompa. *sigh*. 



Masa-masa kuliah memang menyenangkan. Saya pasti merindukan masa ini. 4 tahun berhadapan dengan teori-teori aneh. 4 tahun berhadapan dengan berbagai macam dosen. 4 tahun bertemu dan berkumpul dengan sahabat-sahabat dan keluarga baru. Ah, bonus, dapet calon suami dong! Amin! *komat-kamit*.


dengan si "bonus" :D




Yang menyenangkan dari kuliah S1 adalah bertemu karakter-karakter baru. Eh, syukur deh ternyata menjadi sahabat-sahabat menyenangkan. Bergosip di lobby kampus.

Selasa, 01 November 2011

"What a Life"

Dunia hebat. Tambahkan tanda kutip pada kata hebat. Bagaimana tidak? Ia menghasilkan manusia berjubah hakim dengan telunjuk lentik dan tajam. Jangan lupa tambahkan juga tanda kutip pada kata hakim. Jubahnya bisa membuat ciut. Telunjuknya lebih tajam dari pedang.
Yang satu menuding yang lain. Yang lain menghakimi yang satu. Dengan modal percaya diri berlebih, lalu siapa saja bisa menjadi hakim. Timbangan emas yang seimbang menjadi merah dan berat sebelah. Yang tertawa dihakimi dan yang menangis menghakimi, lalu semua menjadi terbalik.
Jangan terlalu yakin dengan citra cermin pantulanmu yang mengatakan bahwa kau tidak pernah menuding dan menghakimi. Cermin itu berbohong, tepat seperti ketika cermin berbohong tentang kecantikan sang ratu pada dongeng si putri salju. Hei, karena itulah aku memecahkan cerminku.
Aku dan kamu punya telunjuk tajam dan jubah hakim ilegal untuk digunakan fungsinya bagi orang lain, bahkan pada diri sendiri.
Oh, Tuhan. Dunia hebat. jangan lupa, tambahkan tanda kutip pada kata hebat.

this image random from google

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...