Tahu tidak bagaimana rasanya menangis?
Menangis tersedu-sedu seperti anak kecil kehilangan benda kesayangannya?
Menangis tersedu-sedu seperti anak kecil yang tidak dituruti keinginannya?
Rasanya menyedihkan.
Sekaligus melegakan.
Tentu saja bukan penampilan yang spektakuler dan eksotis ketika mendapati dirimu menangis meraung-raung.
Kau mendapati matamu memerah. Kelopakmu membengkak. Hidungmu juga memerah seperti rudolf si rusa. Kulit wajahmu berminyak dan kusam. Dan kau akan lelah membuka mata karena bengkak yang ditimbulkan.
Seperti monster.....
Tapi melegakan.
Ya, melegakan dan menenangkan.
Aku mendapatinya di akhir pekan di tahun 2010.
Pagi itu aku bangun dan mendapati kalau hari itu ulang tahun ayahku.
Aku segera bangun dan bersiap untuk mengucapkan selamat.
Apa kata yang tepat?
“selamat ulang tahun papa!”
Ah ya, ini lebih tepat dan indah. “selamat ulang tahun papa! Aku mencintaimu!”
Lalu,
Ayahku tidak disana.
Ah ya bodohnya aku. Melupakan satu hal penting.
Well, beliau pergi ke suatu tempat. Orang-orang meyakinkanku bahwa tempat itu adalah tempat yang tepat dan indah. Tidak dapat digambarkan dengan segudang kata-kata yang paling brilian sekalipun.
Tentu saja aku senang. Bahkan hatiku sendiri meyakinkanku bahwa tempat yang dituju oleh beliau adalah tempat yang lebih baik dibanding bumi yang sedang kupijak ini.
Tapi aku menangis pagi itu.
Bukan dengan bijak.
Tapi membabi buta. Meraung seperti idiot. Berteriak seperti orang bodoh.
Kemudian aku memanggil Tuhan.
Tuhan Sang penentu segalanya.
Aku memanggilNya seperti memanggil pesuruh.
“hei Tuhan!mengapa?? mengapa?? Lihat! Kau membuatku seperti idiot yang tidak punya otak! Mengapa?!”
Tidak ada jawaban.
Seperti ditampar, aku baru sadar aku memperlakukanNya seperti pesuruh. Seperti tahanan yang melakukan kesalahan besar.
Baiklah. Ini bukan pertanda baik.
“mengapa”.....
Ah ya, mengapa.. why....
Mengapa hidupku semuram ini?
Mengapa hidup yang kujalani seberat ini?
Mengapa Tuhan tidak mendengarku?
Mengapa aku harus menunggu?
Mengapa Tuhan tidak mengabulkan permintaanku?
Mengapa semua ini terjadi?
Mengapa begini dan begitu?
Ya, Tuhan pasti bergelimangan kata “mengapa” dan memiliki persediaan (sangat banyak) kepingan-kepingan kata “mengapa” dari manusia-manusianya.
Tahu tidak, Tuhan bisa saja melontarkan pertanyaan tentang “mengapa” untukku dan untukmu juga ketika kau menanyakan dan menyerukan kata yang sama padaNya.
Seperti “mengapa kau tidak mempercayaiKu?”
Ah. Tepat. Aku (dan mungkin kamu juga) menyerukan berbagai jenis kata mengapa yang sangat variatif dan kreatif, dan Dia hanya menanyakan satu jenis “mengapa”.
Jangan hiraukan. Tanpa kujawab Tuhan pasti tahu jawabanku atas pertanyaan sederhana itu.
Baiklah. Mari teruskan melontarkan segudang pertanyaan “mengapa” pada Tuhan.
Mengapa..bla..bla..bla....
Setelah itu? Setelah mengapa?
Setelah “mengapa”....
Lelah pada diri sendiri. Coba saja rasakan. Kau mulai menanyakan segudang pertanyaan “mengapa” dan pada akhirnya kau hanya akan mendapati dirimu terengah-engah....
Dan bengkak.....
Tuhan menciptakan aku dan kamu tanpa ragu dan dengan tujuan. Maka aku dan kamu hidup tanpa ragu dan dengan tujuan. Kalau hanya dipenuhi “mengapa” bukankah sekelibat menunjukkan kalau aku dan kamu seperti tidak memiliki tujuan dan meragukan Tuhan?
Tentu saja pertanyaan “mengapa” bukanlah rangkaian huruf yang harus dihapus dari perbendaharaan kata atau kamus besar Bahasa manapun.
Dengan menanyakan “mengapa” pada sesuatu, aku dan kamu akan mendapatkan kejelasan.
Tapi, melontarkan kata “mengapa” pada Tuhan dengan intensitas yang cukup sering, sepertinya bukan tindakan yang tepat.
Aku mendapati berkali-kali Tuhan meyakinkanku bahwa kalau Ia bilang ada rencana indah untukku, maka terjadilah sesuai perkataanNya. Lalu setiap kali penjelasan itu rasanya kurang cukup dan memuaskan, maka akan muncul kembali kata “mengapa”.
Ah ya, mengapa harus mempertanyakan setiap kejadian kalau ternyata pada akhirnya jawabanNya selalu sama..........
Benarkah? akan selalu sama?
Ya, akan selalu sama.
Tanyakan saja terus menerus pada setiap orang dan Tuhan mengapa hidup terasa menyakitkan.
“karena Tuhan memiliki rencana yang indah untukmu”.
“karena Aku memiliki rencana yang indah untuk hidupmu”.
mungkin benar sebaiknya aku (dan kamu) mulai berhenti melontarkan “mengapa”.
Toh jawaban yang kudapat tetap sama. Aku hanya harus meyakininya. Meyakini bahwa apapun bentuk dan variasi masalahnya, aku dirancangkan untuk yang terindah.
Ya. Itu baik untuk kesehatanku.
Mataku tidak bengkak. Otakku tidak panas. Wajahku akan bersinar.
Aku tidak akan terlihat seperti monster.
Mungkin kamu juga harus mencobanya. Berhenti bertanya “mengapa”.
Berjalan menghadapi apapun yang kau sebut masalah dengan jawaban yang sama yang diberikan padaku.
“karena Aku (Tuhan) memiliki rencana yang indah untukmu”.
Oh. Lagipula, siapa yang ingin terlihat seperti monster?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar