“Aku tidak keluar dari zona nyaman, aku dikeluarkan dari zona nyaman.”
Diwaktu tertentu kau hanya tertawa dan tersenyum. Seperti dimanjakan, wajahmu bersinar terang dan tidak pernah menyentuh kesedihan. Berputar-putar di zona nyaman, tapi tidak pusing. Semua yang kau inginkan ada didepan matamu. Mungkin, kau tidak perlu mengucapkannya. Hanya memikirkannya didalam kepalamu, lalu TAA-RAA! Semua tersedia untukmu.
Orang bodoh mana yang ingin keluar dari zona nyaman seperti itu? Seperti surga dibumi, eh?
Lalu diwaktu yang lain, kau menangis sampai bengkak. Meratap seperti narapidana yang akan dihukum gantung. Sinarnya tidak lagi terang, bahkan meredup. Sejauh matamu memandang, hanya ada kesedihan dan ratap. Kini berputar tidak lagi terasa menyenangkan, pusingnya membuat kepalamu seolah-olah sedang terbelah menjadi dua. Kau berteriak sekeras mungkin, tapi semua keinginanmu tidak lagi tersedia didepan matamu. Jawaban dari setiap teriakanmu hanyalah gema suaramu dan akhirnya sunyi. Kemudian kau tersungkur. Yang lebih menyedihkan, kau merasa sendiri. Lampu sorotnya hanya mengarah padamu, tidak ada yang lain. Unfortunately, kau menonton kesedihan dirimu sendiri.
“Aku tidak keluar dari zona nyaman. Aku dikeluarkan dari zona nyaman. Kesalahan besar apa yang kulakukan sampai aku dikeluarkan dari zona nyaman itu? Aku tidak menyikut yang lain. Kami tertawa bersama-sama. Aku tidak berbuat curang. Semua orang di zona nyaman itu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tidak hanya aku. Apa yang membuatku dikeluarkan dari zona nyaman?”
Masih meratap. Kini punggungmu tidak lagi tegak, wajahmu tidak lagi menengadah keatas. Matamu tidak lagi membelalak lebar. Seperti berkubang di kolam airmata? Ya, mungkin seperti itu.
Kau bertanya-tanya. Berusaha mencari jawabannya. Lagi-lagi tidak ada yang mampu menjawabnya. Atau, jawaban itu memang sengaja disembunyikan darimu? Sayang sekali hanya gema suaramu yang menjawab pertanyaanmu. Menjawab? Tidak. Pertanyaan itu hanya dilemparkan kembali padamu.
Masih tersungkur. Masih meratap. Dan masih berusaha menemukan jawabannya.
Uh. Hentikan. Kau hanya berjalan ditempat. Yang harus kau lakukan adalah menegakkan kembali punggungmu. Menyimpan pertanyaanmu untuk menghemat energi. Mulai melangkah kedepan dan tinggalkan ratap tangis itu dibelakang. Kalau tidak salah, ada cahaya di ujung sana. Ya kan? Selalu ada cahaya. Waktunya belum habis untuk tidak ada lagi cahaya. Seseorang harus membuktikan ada cahaya diujung sana. Berhubung kau menganggap sedang sendiri di zona tidak nyaman ini, maka dirimu sendirilah yang harus membuktikannya.
Setelah berjalan cukup jauh, setelah punggung kembali ditegakkan, setelah pengharapan kembali dikumpulkan, setelah menjadikan cahaya diujung sana sebagai tujuan, apakah kau mendapatkan kembali zona nyamanmu? Apa betul cahaya diujung sana menyimpan berbagai jawaban yang sedang kau tunggu?
Tidak dan Iya. Tidak untuk zona nyaman, Ya untuk jawaban.
Jawaban yang kau dapat cukup sederhana.
“tunggu dan lihat. Yang terbaiklah yang terjadi. Percaya dan bertekunlah. Yang terbaiklah yang terjadi. Beriman dan lakukan yang benar. Yang terbaiklah yang terjadi.”
Maka yang terjadi inilah yang terbaik. Merasakan zona nyaman, dikeluarkan dari zona nyaman, melewati kolam airmata, hingga kembali menegakkan punggung untuk berjalan kedepan, kemudian menemukan jawaban yang mungkin tidak seperti yang diharapkan. Tapi inilah yang terbaik. Kau tahu? Karena kau sedang belajar untuk menjadi si kuat dan tangguh. Agar nanti ketika perang terjadi, kau, si kuat dan tangguh, boleh menjadi pemimpin yang memegang tongkat untuk memenangkan peperangan.
Tidak percaya?
“tunggu dan lihat. Yang terbaiklah yang terjadi. Percaya dan bertekunlah. Yang terbaiklah yang terjadi. Beriman dan lakukan yang benar. Yang terbaiklah yang terjadi.”