"Kebenaran adalah berani, dan kebaikan tidak pernah takut." -William Shakespeare_Measure for measure-

Kamis, 17 Maret 2011

BINTANG ITU INDAH, CARA TUHAN BERPESTA.

“Bintang itu indah.....” 

          Mereka membicarakannya. Mereka membicarakan bintang. Sayang waktunya tidak tepat. Siang itu mereka sedang duduk disebuah taman. Ah, sayangnya mereka juga sedang tidak di tempat yang tepat. Kalau saja taman itu sepi sunyi, namun tampaknya taman itu penuh sesak oleh berbagai jenis gaya hidup orang-orang di kota itu. Mereka berdua duduk di salah satu kursi taman dan mereka membicarakan bintang sementara yang sedang berkuasa siang itu adalah matahari. 

“Tidak perlu menunggu malam untuk membicarakan bintang, iya kan?”

“Ya, kau benar. Tidak perlu menunggu malam untuk membicarakan bintang. Tapi...apakah benar rasanya jika kita membicarakan bintang yang kamu sebut indah itu, sementara si matahari sedang menunjukkan kegarangannya dihadapan kita?”

“Kupikir sah-sah saja. Tidak mungkin matahari cemburu. Toh, matahari juga bagian dari bintang. Hanya badannya saja lebih besar dan energinya lebih banyak dibanding bintang yang lain.” 

“Hahaha, jangan berpikir begitu. Matahari bisa saja cemburu karena kita membicarakan bintang malam. Bukankah tidak ada yang mustahil didunia ini, bahkan untuk penghuni galaksi seperti matahari dan bintang.”

“Hei, kamu terdengar seperti orang yunani saja...”

“Hmm..baiklah, baiklah, anggap saja matahari tidak cemburu siang ini. Anggap saja matahari sedang gembira sehingga ia meluapkan energi panasnya sedikit bersemangat siang ini. Lalu ada apa dengan bintang yang kau sebut indah itu?”

“Oh ya, bintang itu indah. Kamu lihat yang kutunjuk itu?” 

“Ah, kau sedang mengigau. Mana ada bintang malam di siang yang terik ini??”


“Hahaha, kau berubah menjadi realistis rupanya. Dimana imajinasi yang kau jabarkan beberapa menit yang lalu? Kemana terbangnya pendapat “penghuni galaksi” itu? Hahaha. Siang ini mungkin tidak terlihat. Tapi malam nanti pasti terlihat bintang indah yang kutunjuk dengan tanganku ini. Ingat-ingat lah bagian mana yang kutunjuk. Tepat diatas kursi ini, menjulang tinggi keatas, seperti tidak bisa diraih. Seperti tidak bisa disentuh. Tapi bintang itu tetap membuatku ingin menyentuhnya.”

“Imajinasimu terlalu tinggi, Edel...” 

“Tidak. Kita sedang berimajinasi, Orion. Kamu tahu, tidak ada yang membatasi imajinasimu. Tidak ada yang berhak. Hanya dirimu sendiri yang mengijinkan imajinasi itu terbatas. Jadi, ayolah. Untuk hari ini, jangan batasi imajinasimu. Kamu lihat aku. Aku tidak ingin sendiri berjalan pada imajinasi ini. Aku ingin memegang tanganmu dan menikmatinya bersama-sama.” 

“Ya, ya. Kau selalu mendapatkan apa yang kau mau kan, Edel?” 

*** 

          Tawa Edel renyah. Aku suka mendengarnya. Terakhir kali ia tertawa, aku sedang memegang tangannya dan memandangi langit terik ditengah keramaian kota. Berpura-pura kalau hari itu tidak ada matahari, hanya ada bintang malam indah yang ditunjuk Edel. Berpura-pura kalau hari itu tidak ramai, hanya sunyi yang menemani kami. 
          Tawa nya renyah. Suaranya menenangkan. Bisa kau bayangkan? Aku seperti dibuai ketika ia menceritakan imajinasinya yang tidak terbatas itu. Kenangan itu selalu menyejukkanku ditengah hiruk pikuk masalah yang sedang berjalan hilir mudik didepan wajahku. 
          Aku ingat salah satu imajinasi yang kami bayangkan bersama-sama. Saat itu Edel memintaku untuk membayangkan bagaimana Tuhan berpesta. 

***

“Ah Edel. Jangan keterlaluan. Kita tidak boleh membayangkan Tuhan seperti itu.”

“Kenapa, Orion? Kita tidak sedang membayangkan hal tabu, kan? Kita tidak sedang membayangkan sepasang manusia sedang membuat anak, kan? Aku mengajakmu membayangkan Tuhan. Lihat, Orion. Tuhan begitu hebat. Menciptakan kamu, aku, dan bintang malam ditengah situasi seperti ini. Apa salahnya membayangkan Tuhan berpesta? itu pasti akan menjadi pesta yang sangat megah dan meriah.” 

“Baiklah, baiklah. Apa yang sedang ada di dunia imajinasimu saat ini, Edel? Coba beritahu aku dan aku akan menemanimu di dunia itu, seperti biasanya.” 

“Yah, Orion. Aku sedang membayangkan Tuhan sedang berpesta. Jubahnya terbuat dari emas murni. Tampak berkilauan dan megah. Lihat, Orion! Ia sedang tersenyum! Uh! Senyumnya terlalu memukau! Kamu lihat gigi yang tertata rapi itu Orion? Oh kamu akan terpukau Orion! Kali ini Ia sedang tersenyum padaku, mengambilkanku minuman berwarna emas. Minuman berwarna emas! Hmmm, pesta itu hebat kan, Orion. Sekarang Ia sedang menunjukkan bagaimana ia menurunkan hujan. Hmmm, senyumnya tidak seindah tadi, Orion. Ia seperti sedang berpikir. Tapi syukurlah, Ia tetap tersenyum. Kali ini hujannya turun. Coba saja mereka yang sedang mengeluh tentang hujan itu melihat bagaimana cara Tuhan menurunkan hujan, aku yakin mereka akan berhenti mengeluh dan berteriak. Orion, Tuhan memutuskan untuk menghentikan hujannya. Ia sedang menggerak-gerakkan tanganNya. Apa yang sedang dilakukan Tuhan? Oh! Ia membuat pelangi, Orion! Kali ini senyumnya lebih merekah. Pantas saja pelangi itu begitu indah, ternyata Tuhan membuatnya dengan senyum sangat memukau seperti itu.” 

“Edel.....” 

“Tidak. Jangan dulu, Orion. Tuhan masih berpesta. Tuhan sedang menyuruh matahari muncul. Lembut sekali caraNya menyentuh matahari untuk menyinarkan cahayanya. Nah, kan. Manusia-manusia itu pun ikut bersorak melihat cahaya mataharinya. Orion, Tuhan sedang mempersiapkan bulan dan bintang malam. Hei, bagaimana Ia bisa tersenyum renyah seperti itu saat tanganNya dan pikiranNya sedang mengatur letak bulan dan jutaan bintang malam itu? Orion, cara Tuhan berpesta sungguh menyenangkan bukan?”

***

          Aku tercengang. Aku terpukau. Aku masih ingat wajah Edel saat itu. Tolong jangan bilang padaku bahwa aku sedang mengigau. Tapi wajah Edel sungguh bersinar saat itu. Senyumnya lain daripada yang lain. Saat itu juga aku bersyukur pada cara Tuhan berpesta. Meskipun itu hanya imajinasi Edel. Tapi aku mempercayainya. Aku menikmatinya. Cara Tuhan berpesta, membuat Edel tampak bersinar, seperti bintang yang ia tunjuk hari itu. Kurasa Tuhan memang benar-benar sedang berpesta dan tidak hanya sekedar imajinasi Edel. 

          Saat ini, aku sedang duduk di kursi taman kota yang sama seperti kursi yang aku dan Edel duduki saat itu. Kali ini benar-benar malam hari dan sepi sunyi. Hanya saja tanpa Edel. Aku merindukannya. Ini bulan ke lima sejak terakhir kali Edel tertawa dan bersinar padaku saat itu. Sayang sekali aku benar-benar tidak bisa bergabung dengan Edel saat ini. Edel yang kusayang, sedang berpesta bersama Tuhan. 
          Selagi Edel menikmati pestanya, aku akan menikmati bintang yang ditunjuk Edel 5 bulan yang lalu. Bintang itu terletak tepat diatas kepalaku. Tepat di tempat yang ditunjuk Edel 5 bulan yang lalu. Bonus untukku, bintang itu bersinar terang. Tentu saja aku percaya bahwa ini bukan kebetulan. Ini juga pasti salah satu cara Tuhan berpesta. 

Dear Edel, 
Edelweiss. Namamu indah. Abadi dan kuat, seperti dirimu. Cantik. Itu kau dan namamu. Tahukah kau, Edel, namamu memiliki filosofi yang indah. Bunga Edelweiss. Bunga itu tumbuh di bebatuan. Bunga itu tumbuh digunung yang tinggi. Cantik, putih, kuat, namun tidak terjangkau. Aku percaya Tuhan tidak sedang tidur ketika menciptakan namamu dan dirimu sendiri. 

Apa kabarmu, Edel? Aku sedang duduk dikursi kesayangan kita, ditaman kota. Aku melihat bintang yang kau tunjuk 5 bulan yang lalu. Jangan-jangan kau lah yang meminta Tuhan untuk menaruh bintang indah itu di atas kepalaku saat ini? Ah, Edel, kau pasti sedang tertawa renyah bersama Tuhan. Apakah menyenangkan? Pestanya? 

Aku merindukanmu, Edel. Aku merindukan celotehmu tentang imajinasi. Lihat apa yang kau lakukan. Kau menularkan virus “imajinasi tanpa batas” padaku. Benar juga, hanya diri kita sendiri yang membatasi imajinasi. Orang lain tidak berhak. 

Sebenarnya aku berharap sedang bersamamu saat ini, Edel. Ya, ya, aku tahu. Seperti katamu saat itu, kau akan selalu bersamaku, dalam imajinasiku. Karena itu aku tidak ingin membatasi imajinasiku, Edel. Tapi aku harus melihat kenyataan sesekali, Edel. Aku tidak bisa hanya hidup dengan imajinasiku. Ada kenyataan yang sedang menungguku juga. Menunggu untuk disentuh kemudian dibentuk sedemikian rupa hingga menjadi kenyataan yang indah. Bintang itu adalah awal kenyataan yang indah, kan. 

Aku hancur ketika harus membiarkan matamu menutup dan tubuhmu kaku seperti 5 bulan yang lalu. Aku hancur ketika harus membiarkan kenyataan menamparku bahwa aku tidak lagi memegang tanganmu. Tapi aku tidak bisa berhenti mengucap syukur pada Tuhan (akhirnya) karena telah menciptakanmu dan namamu untukku. Dan bintang itu. Tuhan memberikanku alasan untuk selalu mengucapkan kata terimakasih dan syukur disetiap menitnya. Kau benar, Edel. Cara Tuhan berpesta sungguh spektakuler. 

Aku harus maju, Edel. Tidak boleh lagi memandangi foto yang tidak bisa bicara itu. Dan tidak boleh lagi mengharapkan pusaramu membuka dan kau muncul utuh dan tanpa lecet. Kau, Edel, akan menjadi kenangan indah dan akan selalu berjalan bersamaku dalam imajinasi tanpa batas. Dan cara Tuhan berpesta, mengingatkanku akan kenyataan indah yang sedang menungguku didepan sana. Sungguh aneh, Tuhan selalu punya cara untuk menyatukan imajinasi dan kenyataan dengan sangat indah. Kurasa, itu juga salah satu cara lain Tuhan berpesta. Iya kan, Edel? 

***

Kawan, bintangnya masih bersinar diatas kepalaku. Dan nama bintang itu Orion. Edel yang menamakannya.

“bintang indah yang kutunjuk itu, akan kunamakan Orion. Indah dan bersinar. Sepertimu kan, Orion?” kata Edel 5 bulan yang lalu.

Mungkin bintang itu memiliki nama lain. Tapi, untukku, bintang itu adalah Orion. Bintang itu indah. Salah satu cara Tuhan berpesta, kurasa. 

-end- 

image from: http://kalong05.files.wordpress.com/2010/03/20060730-edelweiss4-combine.jpg

1 komentar:

Damar mengatakan...

Bintang itu indah. Salah satu cara Tuhan berpesta, kurasa.

Saya suka kalimat ini :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...