"Kebenaran adalah berani, dan kebaikan tidak pernah takut." -William Shakespeare_Measure for measure-

Minggu, 27 September 2009

that i would be good (alanis morisette)

that I would be good even if I did nothing
that I would be good even if I got the thumbs down
that I would be good if I got and stayed sick
that I would be good even if I gained ten pounds

that I would be fine even if I went bankrupt
that I would be good if I lost my hair and my youth
that I would be great if I was no longer queen
that I would be grand if I was not all knowing

that I would be loved even when I numb myself
that I would be good even when I am overwhelmed
that I would be loved even when I was fuming
that I would be good even if I was clingy

that I would be good even if I lost sanity
that I would be good
whether with or without you

-alanis morisette-

good meaning, deep meaning,...
mencoba mengerti arti lirik ini,
mencoba berpikir siapa yang akan bilang saya tetaplah oke sekalipun semua orang memberi saya jempol mengarah ke bawah.. (seperti salah satu kalimat lagu itu)
mencoba berharap semua orang tidak melihat kekurangan sesamanya...
tapi bukankah itu sulit..
karena sulit maka muncullah lirik ini..
ya, mungkin saja begitu,..
mungkin juga tidak begitu...

Minggu, 06 September 2009

BIARKAN TANPA JUDUL

Gadis itu merasa tidak nyaman, tidak nyaman dengan orang-orang terdekatnya. Ia mencoba memendam dan berharap tidak ada satupun yang tahu. Ia mencoba tersenyum dengan sumber ketidaknyamanannya. Tapi ternyata hal tersebut adalah hal yang sangat sulit ia lakukan. Ia tetap merasa tidak nyaman. Dengan siapa ia merasa tidak nyaman?
Baiklah, ia harus mengatakan kepada seseorang bahwa ia merasa tidak nyaman. Lalu ia pun memberanikan diri untuk mengatakannya. Tidak, tidak, orang tersebut bukanlah orang yang membuat dirinya tak nyaman. Mari kita sepakati bahwa seseorang itu adalah orang yang saat ini sedang mengisi hatinya yang sempat beku dan nyaris patah. Lalu gadis itu mengatakannya. Semuanya. Adakah yang tersembunyi? Adakah yang belum tersampaikan? Saat itu? Rasanya tidak. “rasanya”? Baiklah, anggaplah tidak ada keragu-raguan itu. Tidak. Tidak ada yang tersembunyi, tidak ada yang tertinggal untuk disampaikan, pada saat itu. Kemudian ia menceritakan rasa tidak nyamannya terhadap orang itu. Lalu? Dengan siapa ia merasa tidak nyaman?
Lalu, lega. Ya, itulah rasanya saat ia mengatakan pada orang yang sedang mengisi hatinya itu. Lega. Lalu ia mencoba tersenyum. Hadapi hari dengan mencoba percaya bahwa segalanya baik-baik saja. Satu hari terlewati, dua hari terlewati, tiga hari terlewati, hari-hari mulai terlewati. Lalu perasaan tidak nyaman itu muncul lagi. Dan gadis itu pun merasa terganggu. Sangat terganggu. Gadis itu merasa bodoh karena merasa tidak nyaman. Ketidaknyamanan itu mengganggu emosinya. Emosi yang selama ini ia tata dengan baik agar tidak menghancurkan dan mengganggu orang lain. Gadis itu mulai kehilangan kendali emosinya. Ia ingin marah, ingin teriak, dan ingin menghancurkan seseorang. Seseorang yang membuat ia tidak nyaman, sumber ketidaknyamanan itu. Dengan siapa ia merasa tidak nyaman?
Gadis itu mulai kehilangan kendali emosinya. Disaat tertentu gadis itu riang gembira, disaat yang lain gadis itu ingin marah, marah yang benar-benar marah. Lalu gadis itu mulai mengumpulkan tenaganya untuk menata kembali emosinya. Emosi itu harus ditata kembali. Emosi itu harus dirapikan, agar tidak mengganggu siapapun, agar tidak mengganggu orang yang sedang mengisi hatinya. Sulitkah? Ternyata sulit, gadis itu butuh ruang khusus untuk menangis sejadi-jadinya dan marah pada tembok, agar ia tidak merugikan siapapun yang bertemu dengan dirinya. Tapi saat gadis itu keluar dari ruangan khusus tersebut, ia harus kembali menggunakan topengnya. Topeng keceriaan. Untuk apa? Untuk membantu dirinya sendiri agar tidak merugikan orang lain. Ya, ia masih bisa memikirkan orang lain, dan karena itu ia bersyukur, karena jika ia mengutamakan ego nya, maka semuanya akan hancur. Biar tembok-tembok ruangan itu saja yang hancur asal jangan orang lain. Dengan siapa ia merasa tidak nyaman?
Gadis itu mulai bertanya-tanya, mengapa begini? Mengapa harus terjadi seperti ini? Gadis ini terusik. Ya, terusik. Dia adalah seorang gadis yang selalu menggunakan logikanya. Ya, logika. Logika itulah yang menolongnya dari segala bentuk perasaan yang memungkinkan ia menjadi seorang yang lemah, atau itulah anggapannya selama ini. Melow, kata orang, adalah sesuatu yang wajar. Tapi tidak untuk gadis ini. Ia mencoba sebisa mungkin untuk tidak membiarkan perasaan melow yang kata orang wajar, datang merusak suasana hatinya. Berhasilkah? Satu saat ia berteriak, “berhasil!”. Tapi disaat lain ia menangis dan meratap, “belum, belum, belum berhasil...”. Kacau. Ya, kacau. Emosi nya kacau balau. Bagaimana mungkin? Gadis itu adalah seorang gadis yang paling pintar mengendalikan emosinya, setidaknya untuk orang-orang terdekatnya. Tapi sekarang kacau. Ada sesuatu yang ingin ia muntahkan dari dalam hatinya. Ia ingin memuntahkan sesuatu yang mengganjal itu pada orang yang telah membuat dirinya merasa tidak nyaman. Ingin dimuntahkan semuanya tanpa sisa, tidak peduli orang itu menderita atau tidak. Baiklah, gadis itu memang sudah kehilangan kendali emosi nya. Tapi pikirnya ia masih punya sedikit kekuatan untuk tidak memenangkan keegoisan hatinya. Ya, ia punya kekuatan itu. Jika kekuatan itu hilang bahkan redup, maka segalanya akan hancur. Bahkan gadis itu pun tidak berani membayangkannya. Dengan siapa ia merasa tidak nyaman?
Dengan siapa? Bukan, bukan dengan orang yang kini sedang mengisi hatinya yang sempat beku itu. Lalu dengan siapa? Bagaimana gadis itu menjawab? Kalau ia menjawab pertanyaan ini, ia akan merasa bodoh sekalipun orang-orang mengatakan itu wajar. Dengan siapa? Gadis itu memilih untuk tidak menjawab. Ia pendam sendiri, biar sebagian orang saja yang tahu dengan siapa ia merasa tidak nyaman. Hanya saja, kepada siapa ia harus berteriak dan menangis? Pada orang yang sedang mengisi hatinya? Ia pikir tidak. Tidak, tidak, lebih baik tidak. Gadis itu berpikir keras untuk masalahnya ini. Akhirnya ia memutuskan untuk berhenti teriak, dan berhenti menangis. Berhenti memikirkan masalah itu. Karena itu tidak penting.
Tapi, masalah datang tanpa permisi. Keputusan mutlak itu tergoyahkan. Kacau. Lagi-lagi gadis itu merasa kacau. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk sendiri. Ya, sendiri dulu, diruangan khususnya, diam disitu, menatap tembok dan berbicara pada dirinya sendiri dan pada Tuhan.
“tidak ada yang bisa kulakukan untuk emosiku saat-saat ini. Yang harus aku lakukan adalah menangis sejadi-jadinya, lalu mengusap air mata itu dengan tissue, membilas wajah, mengambil es batu untuk mengompres mataku agar tidak bengkak, tidur sejenak, dan kemudian aku akan keluar untuk menggunakan topengku. Munafikkah aku? Terserahlah, tapi topengku bukan untuk membuat diriku menjadi gadis munafik, topengku adalah untuk menyelamatkan suasana hati orang lain dan suasana hatiku sendiri. Bocorkah topeng itu? Kuharap tidak. Tapi, itu bukanlah topeng yang sempurna. Kalau pun bocor, maka biarlah. Tetaplah diam bagi siapapun yang mengetahui kebocoran topeng itu. Karena aku tidak punya kekuatan lagi untuk menembel topeng itu dan membuatnya sangat sempurna dihadapan kalian. Kekuatanku saat ini hanyalah untuk mengurung egoisme yang sedang memberontak keluar untuk mengganggu orang lain. Jadi, biarkan aku menggunakan sisa kekuatanku untuk mengurungnya. Biarkan...”
Gadis itu bicara dengan dirinya sendiri, dan dengan Tuhan. Tuhan? Masih adakah Tuhan? Gadis itu dengan mantap menjawab pertanyaan yang satu ini, “ masih ada! Kalau Dia tidak ada, maka sekarang aku bukanlah manusia. Kalau Dia tidak ada, aku hanyalah sebuah kehancuran bagi diriku sendiri dan orang lain. Jadi, Dia masih ada. Dan aku bersyukur karenaNya”.
Sudah selesaikah ceritanya? Tentu saja belum. Gadis itu tidak mampu lagi untuk bercerita. Ia tidak berani janji apakah kelanjutannya akan happy ending atau sad ending. Lalu bagaimana kelanjutannya? Jangan tanya bagaimana pada gadis itu, karena gadis itu sendiri tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Jika kau tanya bagaimana keadaan gadis itu sekarang? Gadis itu masih kacau, tapi ia baik-baik saja. Aneh bukan? Ada kebaikan ditengah kekacauan. Setidaknya gadis itu masih berharap ia baik-baik saja dan ia meng-iman-i nya. Iman itu pasti akan menyelamatkan hidupnya. Pasti. Ia baik-baik saja........
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...